Mengapa Harus Etis? Perkembangan komunikasi digital memiliki karakteristik komunikasi global yang melintasi batas-batas geografis dan batas-batas budaya. Sementara setiap batas geografis dan budaya juga memiliki batasan etika yang berbeda. Setiap negara, bahkan daerah memiliki etika sendiri, begitu pula setiap generasi memiliki etika sendiri. Misalnya saja soal privasi. Masyarakat kolektif seperti masyarakat Indonesia merasa tidak masalah bercerita tentang penyakit yang diderita di media sosial, atau menunjukkan kehangatan suatu hubungan di media sosial, tetapi belum tentu itu dirasakan nyaman oleh masyarakat individualistik.
Para orang tua bisa saja merasa biasa bahkan bangga bercerita tentang anak-anaknya, namun belum tentu anak-anaknya nyaman dengan kisah yang diceritakan oleh orang tuanya di media sosial. Begitu juga interaksi digital antar gender, dan antar golongan sosial lainnya. Semua akan memunculkan persoalan-persoalan etika. Artinya dalam ruang digital kita akan berinteraksi, dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan kultural tersebut, sehingga sangat mungkin pertemuan secara global tersebut akan menciptakan standar baru tentang etika. Sebagai gambaran bagaimana media digital telah menyatukan batas-batas geografis dan budaya bisa dilihat dari data berikut: PENGANTAR MODUL ETIS BERMEDIA DIGITAL 2 Gambar I. 1. Data Pengguna Internet di Indonesia Berdasar Demografi Sumber: APJII. (2020). Laporan Survei Internet APJII 2019 - 2020 [Q2]. Retrieved from https://apjii.or.id/survei
Melihat data-data diatas, maka semakin jelas pertemuan-pertemuan geografis dan budaya yang berpotensi menjadi persoalan etika. Beberapa pakar yang telah mengkaji persoalan ini, misalnya Ess (2014) yang mengeksplorasi etika tradisional dan potensi standar baru dalam dilema etis kontemporer. Begitu juga dengan Patrick (2013) yang merekomendasikan etika neo-Aristoteles tentang kebajikan dalam berkomunikasi, dan berinteraksi di media digital. James bersama koleganya (2007) mengembangkan etika media dengan program The Good Play Program dalam penggunaan media digital di kalangan remaja. Siberkreasi & Deloitte (2020) merumuskan etika digital (digital ethics) adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, 3 mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquet) dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa menggunakan media digital mestinya diarahkan pada suatu niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama. Demi meningkatkan kualitas kemanusiaan. Apalagi di Indonesia yang multikultur, maka etika digital sangat relevan dipahami dan dipraktekkan oleh semua warga Indonesia. Secara sistematis Siberkreasi dan Japelidi telah berbuat untuk peningkatan kesadaran, sensitivitas, dan perilaku masyarakat melalui gerakan literasi digital. Mulai dari riset, kajian, rumusan kurikulum, kampanye, pelatihan, dan publikasi panduan-panduan literasi digital. Modul ini pun merupakan pengembangan kurikulum yang telah dirumuskan oleh Siberkreasi. Berdasarkan rumusan kurikulum Siberkreasi kemudian para penulis mengelaborasi dengan rumusan 10 level kompetensi literasi digital versi Japelidi. Suatu perpaduan yang saling mengisi dan melengkapi. Kerangka penyusunan Modul Etika Digital dan rumusannya untuk panduan ini adalah sebagai berikut: Bagan I. 1. Kerangka Berpikir Modul Etika Digital Sumber: Tim Penulis (2021) diolah dari Kurikulum Kominfo, Siberkreasi & Deloitte (2020); Kurnia & Wijayanto (2020); Ess (2014); Patrick (2013); James (2007) 4 Etika tradisional adalah etika offline menyangkut tata cara lama, kebiasaan, dan budaya yang merupakan kesepakatan bersama dari setiap kelompok masyarakat, sehingga menunjukkan apa yang pantas dan tidak pantas sebagai pedoman sikap dan perilaku anggota masyarakat. Etika kontemporer adalah etika elektronik & online menyangkut tata cara, kebiasaan, dan budaya yang berkembang karena teknologi yang memungkinkan pertemuan sosial budaya secara lebih luas dan global. Etika The Good Play Program diwujudkan dalam perilaku partisipatif yang bertanggung jawab pada orang lain. Maka ruang lingkup etika dalam modul ini adalah menyangkut pertimbangan perilaku yang dipenuhi kesadaran, tanggung jawab, integritas (kejujuran), dan nilai kebajikan. Baik itu dalam hal tata kelola, berinteraksi, berpartisipasi, berkolaborasi dan bertransaksi elektronik. Bagan I. 2. Ruang Lingkup Etika Sumber: Olahan Penulis (2021) Kesadaran maksudnya adalah melakukan sesuatu dengan sadar atau memiliki tujuan. Media digital yang cenderung instan seringkali membuat penggunanya melakukan sesuatu dengannya ‘tanpa sadar’ sepenuhnya. Tindakan ‘otomatis’ begitu memegang gawai contohnya. Begitu bangun tidur langsung buka gawai. Begitu mendapatkan pesan, langsung berbagi (share) tanpa saring, misalnya. Integritas yang dimaksud dalam hal ini yaitu kejujuran. Media digital yang sangat berpotensi manipulatif, mudah, dan menyediakan konten yang sangat besar menggoda penggunanya bertindak tidak jujur. Pelanggaran hak cipta misalnya, plagiasi, manipulasi, dsb. adalah contoh-contoh isu integritas. Tanggung jawab berkaitan dengan dampak atau akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan. Maka bertanggung jawab artinya adalah kemauan menanggung konsekuensi dari perilakunya. Sementara kebajikan menyangkut hal-hal yang bernilai kemanfaatan, kemanusiaan, dan kebaikan. Pada dasarnya dengan media digital setiap orang (netizen) berpartisipasi dalam berbagai hubungan dengan banyak orang yang melintasi geografis dan budaya. Mereka menggunakan jejaring sosial, blogging, vlogging, game, pesan instan, mengunduh dan mengunggah serta membagikan berbagai konten hasil kreasi mereka sendiri. Mereka dengan berbagai cara membangun hubungan lebih jauh dan berkolaborasi dengan orang lain.
Maka, segala aktivitas digital – di ruang digital dan menggunakan media digital – memerlukan etika digital. KESADARAN INTEGRITAS (KEJUJURAN) KEBAJIKAN TANGGUNG JAWAB 5 Kita padukan pikiran dasar ini dengan kurikulum digital ethics menurut Kominfo-Siberkreasi dan 10 kompetensi literasi digital versi Japelidi Indonesia. Memahami Kompetensi Literasi Digital Secara umum, literasi digital sering kita anggap sebagai kecakapan menggunakan internet dan media digital. Namun begitu, acapkali ada pandangan bahwa kecakapan penguasaan teknologi adalah kecakapan yang paling utama. Padahal literasi digital adalah sebuah konsep dan praktik yang bukan sekadar menitikberatkan pada kecakapan untuk menguasai teknologi. Lebih dari itu, literasi digital juga banyak menekankan pada kecakapan pengguna media digital dalam melakukan proses mediasi media digital yang dilakukan secara produktif (Kurnia & Wijayanto, 2020; Kurnia & Astuti, 2017). Seorang pengguna yang memiliki kecakapan literasi digital yang bagus tidak hanya mampu mengoperasikan alat, melainkan juga mampu bermedia digital dengan penuh tanggung jawab. Untuk bisa mengetahui sejauh mana pengguna mempunyai kecakapan dalam memediasi media digital, maka diperlukan alat ukur yang tepat. Berbagai gagasan mengenai kompetensi literasi digital pun kemudian ditawarkan oleh beragam organisasi baik komunitas maupun instansi pemerintah yang menaruh perhatian pada pengembangan literasi digital di Indonesia. Tabel I.1. memetakan empat kerja besar dalam memetakan area kompetensi literasi digital yang bisa digunakan sebagai kerangka berpikir dalam melakukan penelitian, perumusan kurikulum, penulisan modul dan buku, maupun beragam program literasi digital lainnya. 6 Tabel I. 1. Kompetensi Literasi Digital Japelidi (2018) Tular Nalar (2020) Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) (2020) Kominfo, Siberkreasi & Deloitte (2020) 10 kompetensi 8 kompetensi 5 kompetensi 4 area kompetensi ● Akses ● Paham ● Seleksi ● Distribusi ● Produksi ● Analisis ● Verifikasi ● Evaluasi ● Partisipasi ● Kolaborasi ● Mengakses ● Mengelola Informasi ● Mendesain Pesan ● Memproses Informasi ● Berbagi Pesan ● Membangun Ketangguhan Diri ● Perlindungan Data ● Kolaborasi ● Kelola Data Informasi ● Komunikasi dan Kolaborasi ● Kreasi Konten ● Keamanan Digital ● Partisipasi dan Aksi ● Digital Skills ● Digital Culture ● Digital Ethics ● Digital Safety Sumber: diolah dari Kurnia dkk, 2018; Kurnia & Wijayanto, 2020; Monggilo, Kurnia & Banyumurti, 2020; Kominfo, Siberkreasi & Deloitte (2020); Astuti, Mulyati & Lumakto (2020) Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) merumuskan 10 kompetensi literasi digital Japelidi pada tahun 2018 sebagai kerangka berpikir untuk merumuskan panduan penulisan seri literasi digital Japelidi. Kesepuluh kompetensi literasi digital Japelidi tersebut dijelaskan dalam tabel berikut ini: Tabel I. 2. 10 kompetensi literasi digital Japelidi No Kompetensi Definisi 1 Mengakses Kompetensi dalam mendapatkan informasi dengan mengoperasikan media digital 2 Menyeleksi Kompetensi dalam memilih dan memilah berbagai informasi dari berbagai sumber yang diakses dan dinilai dapat bermanfaat untuk pengguna media digital 3 Memahami Kompetensi memahami informasi yang sudah diseleksi sebelumnya 4 Menganalisis Kompetensi menganalisis dengan melihat plus minus informasi yang sudah dipahami sebelumnya 5 Memverifikasi Kompetensi melakukan konfirmasi silang dengan informasi sejenis 6 Mengevaluasi Kompetensi dalam mempertimbangkan mitigasi resiko sebelum mendistribusikan informasi dengan mempertimbangkan cara dan platform yang akan digunakan 7 Mendistribusika n Kompetensi dalam membagikan informasi dengan mempertimbangkan siapa yang akan mengakses informasi tersebut 7 8 Memproduksi Kompetensi dalam menyusun informasi baru yang akurat, jelas, dan memperhatikan etika 9 Berpartisipasi Kompetensi untuk berperan aktif dalam berbagi informasi yang baik dan etis melalui media sosial maupun kegiatan komunikasi daring lainnya 10 Berkolaborasi Kompetensi untuk berinisatif dan mendistribusikan informasi yang jujur, akurat, dan etis dengan bekerjasama bersama pemangku kepentingan lainnya Sumber: Dokumentasi Japelidi 2018 (dalam Kurnia & Wijayanto, 2020) Hingga akhir tahun 2020, sudah 13 buku seri panduan literasi digital Japelidi diterbitkan dengan tema beragam: Bijak Berbagai Informasi Bencana Alam (Kurnia dkk., 2018), Literasi Game (Yuwono dkk., 2018; Wirawanda & Setyawan, 2018), Pengasuhan Digital (Herlina dkk., 2018; Wenerda & Sapanti, 2019), Muslim Ramah Digital (Astuti dkk., 2018), Lawan Hoaks Politik (Adiputra dkk., 2019), Kewarganegaraan (Widodo & Birowo (editor), 2019), Jurnalis Warga (Nurhajati dkk., 2019), Perdagangan orang (Sukmawa dkk., 2019), Perempuan dan Transaksi Daring (Kurnia dkk., 2020), dan Perempuan dan Media Sosial (Monggilo dkk., 2020). Melalui buku-buku tersebut, pembaca diajak menggunakan 10 kompetensi Japelidi untuk digunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, dengan bekerjasama dengan SiberKreasi, buku-buku tersebut bisa diunduh secara gratis melalui situs web literasidigital.id. Selain menggunakan 10 kompetensi Japelidi dalam menyusun buku panduan, 10 kompetensi literasi digital Japelidi ini juga digunakan sebagai kerangka kerja untuk melakukan berbagai kegiatan lainnya seperti riset maupun kampanye melawan hoaks COVID-19 (Kurnia & Wijayanto, 2020). Terkait penerapannya dalam riset, 10 kompetensi Japelidi sudah digunakan untuk mengukur skor kompetensi literasi digital masyarakat Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, dalam menggunakan media digital (Japelidi, 2019). Menggunakan kerangka berpikir yang sama, riset yang dilakukan Kurnia dkk (2020) bertujuan mengukur skor kompetensi literasi digital perempuan Indonesia dalam menggunakan aplikasi percakapan. Dalam kedua penelitian tersebut tampak bahwa kompetensi fungsional (akses, seleksi, paham, distribusi, dan produksi) memiliki skor lebih tinggi dibandingkan dengan kompetensi kritis (analisis, verifikasi, evaluasi, partisipasi dan kolaborasi). Sedangkan dalam kampanye lawan hoaks COVID-19, 10 kompetensi Japelidi juga digunakan sebagai landasan bekerja Japelidi dalam melakukan kampanye baik secara daring maupun luring (Kurnia & Wijayanto, 2020). Kampanye yang menghasilkan 28 konten yang satu konten diproduksi dalam 44 bahasa (42 bahasa daerah, bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia) ini mendapatkan dukungan dari warga, komunitas, instansi pemerintah maupun media. 8 Dengan tujuan serupa untuk meningkatkan literasi digital masyarakat Indonesia, Kurikulum Tular Nalar yang diusung oleh MAFINDO, Maarif Institute, dan Love Frankie merumuskan 8 kompetensi yang digunakan sebagai indikator pengguna media digital dengan penekanan pada berpikir kritis (critical thinking). Kompetensi yang mengelaborasikan berbagai model ini terdiri dari mengakses, mengelola informasi, mendesain pesan, memproses informasi, berbagi pesan, membangun ketangguhan diri, perlindungan data, dan kolaborasi. Kompetensi literasi digital Tular Nalar tersebut dikembangkan menjadi 3 jenjang, yaitu Tahu, Tanggap, dan Tangguh. Tahu merujuk pada kemampuan dasar, Tanggap merujuk pada kemampuan menengah, sedangkan Tangguh merujuk pada kemampuan lanjut. Ketiga jenjang dan 8 kompetensi literasi media digital ini kemudian dikembangkan oleh kurikulum Tular Nalar ke dalam 8 isu, mencakup literasi dasar (Berdaya Internet), kesehatan (Internet dan Kesehatan), pengajaran di dalam kelas (Internet dan Ruang Kelas), mitigasi bencana (Internet dan Siaga Bencana), kewarganegaraan (Menjadi Warga Digital), keberagaman (Internet Damai), keluarga/keayahbundaan (Internet dan Keluarga), serta disabilitas (Internet Merangkul Sesama) (Astuti, Mulyati & Lumakto, 2020). Sementara itu, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menawarkan lima kompetensi literasi digital yang terdiri dari: kelola data informasi, komunikasi dan kolaborasi, kreasi konten, keamanan digital, serta partisipasi dan aksi (Monggilo, Kurnia & Banyumurti, 2020). Kelola data informasi adalah kemampuan mengakses dan mengevaluasi data dan informasi secara cermat dan bijak. Komunikasi dan kolaborasi merupakan kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi secara etis dengan warganet lainnya. Kreasi konten adalah kemampuan menyunting dan memproduksi konten digital untuk tujuan baik. Keamanan digital merupakan kemampuan untuk melindungi privasi dan keamanan diri dari berbagai ancaman digital. Partisipasi dan aksi merupakan kemampuan untuk memanfaatkan media digital untuk berdaya dan bernilai lebih secara bersama-sama. Kelima kompetensi ini dirumuskan sebagai kerangka berpikir dan kerangka kerja dalam meningkatkan kompetensi literasi media digital dan keamanan siber yang lebih baik di Indonesia. Oleh BSSN, kelima kompetensi ini kemudian dikembangkan secara khusus dalam sebuah buku panduan yang ditargetkan pada kaum muda terutama mereka sebagai pelajar yang masih duduk di bangku sekolah lanjutan atas dan sebagai mahasiswa di perguruan tinggi. Meskipun begitu, panduan ini bisa digunakan secara umum oleh pengguna media digital baik yang berprofesi sebagai guru, dosen, aktivis, jurnalis, wiraswasta, aparatur sipil negara, dan aneka profesi lainnya (Monggilo, Kurnia & Banyumurti, 2020). Berbeda dengan perumusan kompetensi literasi digital yang dilakukan oleh Japelidi, Tular Nalar dan BSSN yang berfokus pada kompetensi; Kominfo, Siberkreasi & Deloitte (2020) 9 memberikan kerangka yang lebih besar dengan menawarkan empat area kompetensi yang terdiri dari Digital Skills, Digital Culture, Digital Ethics dan Digital Safety. Digital Skills adalah kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK serta sistem operasi digital. Digital Culture merupakan kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari. Digital Ethics adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiquette) dalam kehidupan sehari-hari. Digital Safety merupakan kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan kesadaran keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.
Masing-masing area kompetensi ini mempunyai beragam indikator atau kompetensi yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel I. 3. Area dan Indikator Kompetensi Literasi Digital menurut Digital Skills Digital Culture Digital Ethics Digital Safety Pengetahuan Dasar Mengenai Lanskap Digital – Internet dan Dunia Maya Pengetahuan dasar akan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kecapakan digital dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara Etika Berinternet (Nettiquette) Pengetahuan dasar mengenai fitur proteksi perangkat keras Pengetahuan Dasar mengenai Mesin Pencarian Informasi, cara penggunaan dan pemilahan data Digitalisasi Kebudayaan melalui pemanfaatan TIK Pengetahuan mengenai informasi yang mengandung hoaks, ujaran kebencian, pronografi, perundungan dan konten negatif lainnya Pengetahuan dasar mengenai proteksi identitas digital dan data pribadi di platform digital Pengetahuan Dasar mengenai Aplikasi Percakapan, dan Media Sosial Pengetahuan dasar yang mendorong perilaku mencintai produk dalam negeri Pengetahuan dasar berinteraksi, partisipasi, dan kolaborasi di ruang Pengetahuan dasar mengenai penipuan digital 10 dan kegiatan produktif lainnya digital yang sesuai dengan kaidah etika digital dan peraturan yang berlaku Pengetahuan Dasar mengenai Aplikasi dompet digital, loka pasar (market place), dan transaksi digital Digital Rights Pengetahuan dasar berinteraksi dan bertransaksi secara elektronik di ruang digital sesuai dengan peraturan yang berlaku Pengetahuan dasar mengenai rekam jejak digital di media (mengunduh dan mengunggah) Minor safety (catfishing) terlihat bahwa literasi digital adalah subjek yang sangat kompleks dan multidimensi. Perbedaan mengenai cara menyusun kurikulum dan memaknai titik berangkat literasi digital berbeda-beda, tergantung pada perspektif user maupun pihak yang mengembangkan kurikulum tersebut. Literasi digital Siberkreasi yang disusun ke dalam 4 subyek dan 17 indikator ini terdiri dari kompetensi, isu/area tematik, dan kasus. Misalnya, pengetahuan dasar mengenai lanskap digital dalam indikator Internet dan Dunia Maya terkategori area tematik, sementara pencarian informasi, cara penggunaan dan pemilahan data di area Digital Skills terkategori sebagai kompetensi. Pada area ‘Digital Safety’ terdapat indikator pengetahuan dasar mengenai penipuan digital, yang terkategori dalam ‘kasus’. Adanya kategorisasi yang berbeda-beda dalam satu paket subyek literasi digital ini memang tidak terhindarkan, ketika kita berhadapan dengan berbagai isu yang perlu diselesaikan segera. Terlebih lagi, materi literasi digital ini tidak semata-mata bergerak pada level gagasan/ide/pemikiran, tetapi juga diorientasikan pada kemampuan pengguna dalam mengaplikasikan pengetahuan dasar yang mereka peroleh pada kasus-kasus di lapangan yang sifatnya urgen. Tidak dapat dihindarkan, antara satu modul dan modul lain juga terdapat keterkaitan yang erat, sehingga terkesan ada sedikit tumpang tindih. Peta berikut ini akan menjelaskan posisi masing-masing modul dan issue yang dibawah.
Terdapat dua poros yang membagi area setiap domain kompetensi. Poros pertama, yaitu domain kapasitas ‘single – kolektif’ memperlihatkan rentang kapasitas literasi digital sebagai kemampuan individu untuk mengakomodasi kebutuhan individu sepenuhnya hingga kemampuan individu untuk berfungsi sebagai bagian dari masyarakat kolektif/societal. Sementara itu, poros berikutnya adalah domain ruang ‘informal – formal’ yang memperlihatkan ruang pendekatan dalam penerapan kompetensi literasi digital. Ruang informal ditandai dengan pendekatan yang cair dan fleksibel, dengan instrumen yang lebih menekankan pada kumpulan individu sebagai sebuah kelompok komunitas/masyarakat. Sedangkan ruang formal ditandai dengan pendekatan yang lebih terstruktur dilengkapi instrumen yang lebih menekankan pada kumpulan individu sebagai ‘warga negara digital.’ Blok-blok kompetensi semacam ini memungkinkan kita melihat kekhasan setiap modul sesuai dengan domain kapasitas dan ruangnya.
Digital Skills merupakan dasar dari kompetensi literasi digital, berada di domain ‘single, informal’. Digital Culture sebagai wujud kewarganegaraan digital dalam konteks keIndonesiaan berada pada domain ‘kolektif, formal’ di mana kompetensi digital individu difungsikan agar mampu berperan sebagai warga negara dalam batas-batas formal yang berkaitan dengan hak, kewajiban, dan tanggungjawabnya dalam ruang ‘negara’. Digital Ethics sebagai panduan berperilaku terbaik di ruang digital membawa individu untuk bisa menjadi bagian masyarakat digital, berada di domain ‘kolektif, informal’. Digital Safety sebagai panduan bagi individu agar dapat menjaga keselamatan dirinya berada pada domain ‘single, formal’ karena sudah menyentuh instrumen-instrumen hukum positif.
Comentarii